Inovasi untuk Perahu Nelayan

Jika kita ingin ke pulau, pasti singgah ke dermaga dan mencari perahu agar dapat mengakses ke pulau yang ingin kita kunjungi. Terkadang banyak juga yang mengeluhkan dan menawar biaya perahu yang menurut kita terlalu mahal. Jika menurut Anda terlalu mahal, janganlah kesana atau bawalah perahu sendiri. Berpikirlah jika ingin menawar harga. Jika kalian tidak menawar harga di restoran, café dari brand  luar Negara Indonesia, mengapa untuk menyeberang ke pulau harus menawarkan harga?.

Membahas tentang pulau, di Kota Makassar, Kecamatan Ujung Tanah, Kelurahan Kodingareng ada dua pulau yang menarik untuk dikunjungi, yaitu Pulau Kodingareng yang biasanya dinamakan oleh penduduk setempat sebagai Pulau Kodingareng Lompo, dan Pulau Kodingareng Keke. Apa perbedaan dari dua pulau ini?

gerbang pintu masuk di Pulau Kodingareng Lompo (foto: Rahmat Fajri)
Saya berkenalan dengan seorang sahabat bernama Rahmat Fajri yang menjadi sumber informan saya untuk mendapatkan informasi berdasarkan hasil observasi tentang Pulau Kodingareng, karena ruang lingkup kerjanya berada di Pulau tersebut.

Pulau Kodingareng  Keke terletak disebelah utara Pulau Kodingareng  Lompo, dan berjarak 14 km dari Makassar. Bentuk  pulaunya  memanjang  timur laut – barat daya, dengan  luas ± 1 Ha. Pada sisi selatan pulau, pantainya tersusun oleh pecahan karang yang berukuran pasir  hingga  kerikilan,  sedangkan   pada  sisi  utara  tersusun  oleh  pasir  putih  yang berukuran sedang-halus dan bentuknya berubah mengikuti musim barat dan timur. Tidak tersedia transportasi reguler menuju pulau ini, namun dapat menggunakan perahu motor carteran  (sekoci),  40  PK  dengan  biaya  Rp.  500.000,-  (pergi-pulang).  Tidak  tercatat adanya  penduduk  di pulau  ini, namun  dalam  10 tahun  terakhir  ini terdapat  beberapa bangunan peristirahatan semi permanen bagi wisatawan yang berkunjung ke pulau ini.

Sedangkan Pulau Kodingareng Lompo berdasarkan hasil pendataan penduduk tahun 2012 mencatat jumlah penduduk di Kelurahan Kodingareng sebanyak 4.495 jiwa. Jumlah penduduk ini terdiri dari 2.241 laki–laki (49,82%) dan 2.257 wanita (50,18%) (BPS, 2013). Kepadatan penduduk tercatat 9.364,5 jiwa per km2, jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 1.043 KK.

Letak pulau ini dapat ditempuh selama 1 jam dari Kota Makassar dengan menggunakan kapal mesin (42 PK). Akses ke pulau ini cukup baik dengan tersedianya kapal reguler, di mana biaya  transportasi  laut  ke  pulau  ini  adalah Rp. 30.000 (PP) per orang.  Jumlah  kapal  regular  yang  dimiliki  oleh  penduduk  pulau  ini sebanyak  3 buah, beroperasi   setiap  hari  termasuk   hari  Minggu.   Selain  menggunakan   kapal  regular, biasanya untuk mengakses  daerah ini dapat dilakukan  dengan menyewa  kapal khusus yang biayanya mencapai Rp. 700.000,– (PP).

dermaga di pulau kodingareng (foto: Rahmat Fajri)
Mata pencaharian masyarakat Kelurahan Kodingareng sudah cenderung lebih heterogen/beragam jika dibandingkan dengan pulau–pulau lain dalam kawasan Kepulauan Spermonde. Sekitar 70% penduduk menggantungkan diri dari aktifitas nelayan/petani.  Sebagian masyarakat bekerja pada sektor jasa seperti jasa transportasi / angkutan perairan, pertokoan, pertukangan, buruh bangunan, guru, pegawai negeri serta pembuat perahu kayu dan Fiber.

Perlu diketahui, pertimbangan nelayan jika pergi melaut, pertama ongkos, kedua cuaca dan ketiga hasil tangkapan. Ongkos yang dimaksud adalah bahan bakar, makan dan minum serta rokok bagi yang merokok. Untuk harga bensin ara nelayan biasa membeli 10 ribu per liter, Dalam sehari rata-rata bisa menghabiskan 5 – 7 liter, tergantung dari jarak tempuh yang dilalui. Untuk bahan bakar saja sudah menghabiskan Rp 50.000 – Rp 70.000 belum termasuk makan dan rokok. Diperkirakan perlu Rp 100.000 yang disiapkan untuk melaut perhari.

Dengan beratnya ongkos perhari, seorang Nelayan dari Pulau Kodingareng bernama Yajji membuat inovasi untuk menghemat pengeluarannya itu. Yakni menggunakan gas. Harga gas Rp 23.000 dan jika dipakai bisa 3 sampai 5 hari baru habis. Perbandingannya cukup jauh antara perahu yang menggunakan bensin dan gas. Ide ini Yajji yang membuat sendiri. Cara pakainya cukup mudah, Bensin hanya dipakai untuk menghidupkan mesin saja, setelah hidup langsung dialihkan ke gas, dan aliran untuk bensin ditutup.

gas sebagai pengganti bahan bakar perahu nelayan (foto: Rahmat Fajri)
mesin perahu yang telah dibuatkan untuk aliran gas (foto: Rahmat Fajri)
Yajji, Nelayan Pulau Kodingareng berumur sekitar 67 tahun, tamatan SD memberikan Kabar Baik kepada nelayan yang melaut dan berat memikirkan ongkos bahan bakar. Inovasi Daerah pesisir yang dibuatnya dapat dipraktekan oleh para nelayan yang memiliki perahu untuk melaut. Semua bisa seperti Yajji jika memiliki kemauan berinovasi Untuk Indonesia sehingga akan lebih banyak Kabar Baik yang akan kita dapatkan tentang Indonesia.

Artikel ini diikutsertakan pada Kompetisi Menulis Blog Inovasi Daerahku - https://www.goodnewsfromindonesia.id/competition/inovasidaerahku

Ada Apa Dengan Mangrove?

“Mangrove itu Bakau kan?”. Bagi yang pemikirannya seperti itu, berarti kita sama. Iya, sama-sama salah. Jika salah, jangan bersedih, mari kita belajar bersama mencari yang benar.

Jadi sebenarnya mangrove itu sebutan untuk jenis dan komunitas tumbuhan pesisir, sedangkan bakau adalah sebutan bahasa Indonesia untuk salah satu jenis mangrove di Indonesia yaitu Rhizophora.

Di Indonesia ada 43 jenis mangrove sejati, lebih banyak dibanding semua negara-negara lain yang jumlah mangrove sejatinya sedikit. Tidak heran kalau banyak peneliti dari negara lain datang ke Indonesia untuk mengamati tumbuhan ini. Masing-masing dari jenis itu memiliki ciri-ciri yang berbeda, bisa dilihat dari bentuk daunnya, buah, bunga, dan akar. Penasaran dengan 43 jenis itu apa saja? Anda bisa datang ke Blue Forests karena Yayasan ini cocok untuk Anda yang ingin belajar tentang mangrove.

Logo Blue Forests
Kabar gembira untuk warga Sulawesi Selatan adalah di Pulau Panikiang, Kabupaten Barru, ada 17 jenis Mangrove, hal ini berdasarkan penelitian tahun 2014 yang dilakukan oleh Suwardi Mahasiswa Biologi Unhas. Pulau Panikiang bisa jadi salah satu tempat wisata untuk para pembaca nih yang penasaran dengan Hutan Mangrove. Akses kesana menggunakan perahu mesin dan biayanya cukup terjangkau hanya Rp 30.000 per-orang dan sudah termasuk Pulang Pergi. Saat Anda kesana saya sarankan jangan bawa kenang-kenangan seperti sampah, bungkus makanan, snack, minuman, sisa puntung rokok, dan semacamnya. Dijadikan satu, dikumpul saja dulu dan nanti di buang kalau lihat tempat pembuangan sampah. Pulau Panikiang bisa menjadi bukti nyata bahwa kehidupan masyarakat disana dan hutan mangrove jika dilihat dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi berjalan dengan baik.

Semoga di kawasan pesisir lain juga seperti itu, jika tidak, tugas kita lah saling menyadarkan agar masyarakat benar-benar tahu akan fungsi dan manfaat mangrove dari 3 aspek tadi sehingga jika bencana datang mereka tak perlu khawatir karena sudah ada perencanaan untuk mengantisipasinya. Boleh melakukan kegiatan  dan mengunjungi wisata alam asal kita juga harus bertanggung jawab dengan menjaga keasliannya, melestarikan lingkungan dan bisa juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Semuanya bermula dari kesadaran masing-masing diri kita kan.

Rumah penduduk di Pulau Panikiang yang memiliki luas pulau 98 Hektar.

Kawasan Hutan Mangrove di Pulau Panikiang yang luas kawasan mangrove 82 Hektar.

Jika tahun 2014 di Pulau Panikiang ada 17 Jenis Mangrove, bagaimana dengan tahun ini atau tahun yang akan datang? Apa akan bertambah atau justru berkurang?

Sungguh sangat memprihatinkan sebenarnya kalau tahun selanjutnya Mangrove justru semakin berkurang, karena Mangrove sendiri memiliki 10 kali lipat untuk mengurangi karbon dibanding dengan hutan-hutan lainnya. Bukan hanya mengurangi karbon, tetapi juga dapat mengatasi masalah banjir di kawasan pesisir, membantu untuk mendapatkan air bersih dan udara yang segar, menjadi sumber pendapatan bagi Nelayan dari kepiting, ikan, udang yang mereka jual, dan masih banyak manfaat dari mangrove. 

Jangan terlalu bergembira juga, karena ada kenyataan yang memilukan tentang kondisi mangrove saat ini. Tahun 1980 luas mangrove Indonesia ada 4,2 juta hektar, kemudian tahun 2010 terdata sisa 2 juta hektar saja. Kemana sisanya? ada karena dijadikan tambak, tidak sedikit pula yang dijadikan pemukiman, pabrik, mal, dan lainnya. Jadi sedih lihatnya, dulu penuh dengan warna hijau akibat daun yang lebat dari mangrove, sekarang berubah jadi abu-abu akibat tambak. Lalu tambak juga bertahan 3 sampai 5 tahun, sedangkan kalau Mangrove bisa sampai jangka panjang, dan manfaatnya lebih banyak. Jadi untuk para juragan tambak nih, tolong kalau mau bikin lahan tambak jangan ambil lahannya mangrove ya. Bukan juragan tambak saja, tapi pengusaha yang mau menanam modal di kawasan hutan mangrove, mending menanam dan merawat Mangrove saja.

Kawasan Hutan Mangrove di Kecamatan Balusu, terlihat berbeda dengan Mangrove di Pulau Panikiang yang rindang.
Saya juga kagum dengan usaha dari teman-teman, lembaga/instansi pemerintah yang turut peduli lingkungan dengan melakukan penanaman mangrove, tapi sebelum menanam, semestinya cari tahu dulu sejarahnya lokasinya, apakah pernah ditanami mangrove, jika belum sebaiknya jangan ditanam, daripada upayanya tidak berhasil. Karena proses menanam jenis-jenis mangrove itu tidak semuanya sama. Alangkah baiknya bekerja sama dengan peneliti mangrove atau yayasan yang berfokus tentang mangrove seperti Blue Forests untuk berkonsultasi agar upaya strategi konservasi kawasan hutan mangrove kita berhasil. Jadi bukan hanya melakukan penanaman dan pembibitan, kemudian difoto, dan hasil akhirnya ternyata gagal tumbuh. Bukannya mengantisipasi untuk terhindar dari bencana tapi menambah bencana, bencana anggaran yang terbuang dengan percuma. Bagaimana dengan lokasi kawasan mangrove yang sudah rusak? Lakukan rehabilitasi, libatkan masyarakat setempat dalam perencanaan, dan pengawasan lokasi rehabilitasi tersebut.

Jadi, ada apa dengan mangrove semoga terjawab ya. Kenyataan mangrove dan bakau itu sebenarnya beda, beberapa manfaat dari mangrove, kondisi mangrove sekarang, upaya strategi konservasi mangrove yang bisa dilakukan, pesona wisata ekologi hutan mangrove contohnya yang ada di Pulau Panikiang, Kabupaten Barru. Jika ingin lebih banyak tahu lagi, bisa dikomentar di blog ini, atau menambah informasi juga boleh.

Semua tulisan ini saya dapatkan saat melakukan kegiatan Edutrip (jalan-jalan sambil belajar) International Mangrove Day yang diadakan oleh Blue Forests dengan mengajak kami yang suka berbagi lewat tulisan dan foto untuk mengedukasi kan ke keluarga, teman, dan para pembaca. Semoga yayasan, lembaga, instansi, teman-teman dari himpunan kampus atau osis sekolah bisa melakukan kegiatan serupa, trip sekalian belajar, my trip my educational, perjalananku pengetahuanku.

ID Card untuk peserta lomba blog dan lomba foto. Terima Kasih untuk semua pihak yang mendukung kegiatan ini
Sekarang 2016, Selagi Tuhan masih memberikan kita kesempatan untuk hidup, berbuat baiklah kepada lingkunganmu, berbagi informasi lah kepada mereka yang belum tahu, karena amalan baik bisa saja menjadi penolong kita saat di akhirat kelak. Salam mangrover! Siapapun bisa menjadi pahlawan lingkungan. Selamat hari Mangrove Sedunia, International Mangrove Day (26 Juli).