17
September 2017 | di Kantin Ramsis
Mood
menulis kali ini dipengaruhi oleh sebuah buku kumpulan cerpen karya Wayan
Sunarta berjudul ‘Perempuan yang Mengawini Keris’. Saat itu saya ke acara MIWF
(Makassar International Writers Festival) di Benteng Rotterdam tanggal 19 Mei
2017. Singgah ke lapak Kata Kerja dan aku tertarik dengan judul ini, masih
tersegel, jadi rasa penasaran kenapa perempuan kok nikahnya sama keris? bisa
terjawab jika saya membelinya.
![]() |
Perempuan yang Mengawini Keris, pembatas buku dari kata kerja |
Lembar
demi lembar aku baca dan terjawablah kenapa si perempuan ini kawinnya sama
keris. jika ada nikah lawan jenis, nikah sesama jenis, ternyata ada juga nikah
dengan benda. Tidak hanya judul cerpen itu saja yang menurutku menarik untuk
dibaca, masih ada 16 cerpen yang tidak kalah menarik. Antara lain judul
cerpen-cerpen tersebut Perjalanan Patung Perempuan, Rastiti, Putu Kaler dan Luh
Sari, Aku Membeli Nyawaku, Mendung Merambati Pelepah Pisang, Kerling Mata
Penari Cokek, Di Jimbaran Aku Mengenangmu, Pecundang, Buronan, Kuburan Ayah, Dongeng
di Bukit Batu Bintan, Pengelana Tanah Timur, Balada Sang Putri Di Gubuk Hamba,
Puing Cinta Sang Penari, Nyoman dan Laura, Perempuan yang Mampir dari Warung ke
Warung.
Dari
judul-judul yang tersebut banyak menceritakan tentang perempuan sebagai karakter
utamanya, dan yang membuatku tertarik adalah kumpulan cerpen ini memiliki warna
lokal, khususnya lokalitas Bali. Selain membaca ini membuatku terhibur, akupun
mendapatkan pengetahuan baru tentang bagaimana kultur di Bali. Saya senang
dengan gaya penulisan dari Kak Wayan Sunarta alumni Antropologi Budaya,
Univeritas Udayana Bali. Endingnya tidak mudah ditebak, dan alurnya juga mudah
dipahami.
Untuk yang ingin tahu apa isi dari kumpulan cerpen di buku ini,
hehehe maaf saya tidak akan menuliskannya disini karena nanti jadinya nggak
penasaran lagi dengan isi buku ini sebab sudah saya ceritakan versi singkatnya.
Bagi para pembaca yang ingin menulis sebuah cerita, cobalah melihat disekitarmu
dulu, siapa tahu ada budaya, tradisi yang menarik di tempatmu dan bisa
dijadikan sebuah cerita. Buku kumpulan cerpen ini bukanlah buku best seller,
tetapi buku ini cocok untuk mengisi waktu luangmu dengan membaca dan menambah
pengetahuan tentang lokalitas Bali.
Salah
satu kalimat yang saya suka ada dalam cerpen Pengelana Tanah Timur menuliskan,“Sebab
pada hakikatnya kita adalah pejalan yang tiada pernah tahu akan berakhir
dimana.”
Kita
memang tidak tahu akan berakhir dimana, tapi setidaknya kita tahu ingin
berakhir seperti apa, apakah dengan memiliki karya? Menjadi sosok inspiratif? Atau
yang biasa-biasa saja. Ingat, kita ini adalah pejalan. Karena kita juga hidup
di waktu yang sedang berjalan. Manfaatkan sebaik-baiknya.
Oiya,
buku ini bisa dibaca oleh perempuan dan laki-laki. Jangan khawatir dengan
istilah-istilah yang nanti muncul karena ada penjelasannya kok. Kalau susah
menemukan buku ini, bisa dicoba ke penerbit Jalasutra, Jl. Mangunnegaran Kidul
no. 25 Yogyakarta. Buka juga websitenya www.jalasutra.com
Selamat
membaca dan selamat untuk kalian yang rasa ingin tahunya tinggi tentang budaya
lokal.
0 Komentar